Nota patrit
k.Halawa(110906052)
ILMU POLITIK
Judul Buku : Pembangunan Politik dalam Negeri
Indonesia
Penulis : H.AMIRMACHMUD
Penerbit : PT.Gramedia, Jakarta
Cetakan : kedua, November 1987
Tebal : xvi + 238 halaman
Penulis : H.AMIRMACHMUD
Penerbit : PT.Gramedia, Jakarta
Cetakan : kedua, November 1987
Tebal : xvi + 238 halaman
Rangkaian
kemelut politik menjelang tahun 1966 telah memberikan makna yang dalam kepada
para tokoh pengelola orde baru sehingga mereka sampai kepada suatu kesimpulan
yang mereka yakini sepenuhnya,yaitu pembangunan nasional,termasuk pembangunan
politik sebagai bagian integralnya. Hal ini tidak mungkin dilaksanakan dengan
baik tanpa kehadiran dan terpeliharanya kestabilan politik. Semenjak lahirnya
orde Baru para tokoh pengelola orde baru tampak memperlihatkan kesetian mereka
terhadap keyakinan yang demikian itu.
Jenderal(Purn)
H.AMIRMACHMUD sebagai penulis buku ini merupakan tokoh pengelola orde baru
dimana beliau menjabat sebagai ketua MPR/DPR R.I.,termasuk seorang tokoh utama
dalam proses pembangunan politik pada zaman orde baru.Dalam kedudukannya
sebagai Menteri Dalam Negeri selama belasan tahun,beliau barada dalam lingkaran
inti yang menggerakan dan mengarahkan prose situ. H.AMIRMACHMUD yang juga
sebagai penulis buku ini begitu penting dalam pembangunan politik di era orde
baru.Seseorang tidak mungkin memahami proses perkembangan pembangunan politik
di Indonesia di Zaman orde baru secara wajar dan mendalam tanpa mempelajari dan
meneliti pemikiran,sikap,dan tingkah laku politiknya sebagai salah seorang
tokoh kuncinya.
Dalam
bukunya,penulis mengartikan pembangunan politik menjadi empat
bagian.Pertama,sikap dasar mengenai pola politik,dengan kesadaran berpolitik
demokrasi gaya barat,demokrasi terpimpin dan slogan-slogan lantang bahwa
revolusi belum selesai tidak menyelesaikan masalah. Oleh karna itu diperlukan
sikap bahwa pada hakikatnya bangsa Indonesia tidak dapat menerapkan pola
politik bangsa lain kepada bangsa Indonesia walaupun dinegara lain telah
berhasil.Kedua,Pembangunan politk dan perubahan-perubahan yang diakibatkanya.oleh
sebab itu pembangunan politik haruslah berdasarkan UUD 1945.ketiga,Gagasan
sikap dasar dan cara mencapai tujuan harusla berlandaskan pancasila sebagaimana
menjadi ideologi bangsa Indonesia
keempat,Aspek-aspek
pembangunan politik yaitu,pembangunan politik sebagai prasyarat politik
pembangunan ekonomi,sebagai modernisasi politik,usaha untuk mewujudkan Negara
kebangsaan,sebagai pembangunan administrasi dan hukum,mobilitas massa,pembinaan
demokrasi,dan stabilitas.
Penulis
juga menyadari bahwa pembangunan politik Negara Indonesia adalah bagian dari
pembangunan nasional.Oleh karna itu harus memperhatikan aspek ekonomi sosial
budaya masyarakat umum yang berlandaskan pancasila,UUD 1945 dan Garis-garis
Besar Haluan Negara.
Salah
satu kebijakan yang diungkakpkan penulis dalam pembangunan politik adalah
penerangan dan pers atas dasar Tap MPR II/MPR/1983 “Dalam rangka mensukseskan
pembangunan nasional perlu ditingkatkan penerangan dan peranan media
massa”.Namun pertanyaannya, apakah
peranan pers masa Orde Baru sesuai dengan Tap MPR ini ?
Pers
masa Orde Baru…
[1]“Pada awal kekuasaan orde baru, Indonesia dijanjikan
akan keterbukaan serta kebebasan dalam berpendapat. Masyarakat saat itu
bersuka-cita menyambut pemerintahan Soeharto yang diharapkan akan mengubah
keterpurukan pemerintahan orde lama. Pemerintah pada saat itu harus melakukan
pemulihan di segala aspek, antara lain aspek ekonomi, politik, social, budaya,
dan psikologis rakyat. Indonesia mulai bangkit sedikit demi sedikit, bahkan
perkembangan ekonomi pun semakin pesat. Namun sangat tragis, bagi dunia pers di
Indonesia. Dunia pers yang seharusnya bersuka cita menyambut kebebasan pada
masa orde baru, malah sebaliknya. Pers mendapat berbagai tekanan dari
pemerintah. Tidak ada kebebasan dalam menerbitkan berita-berita miring seputar
pemerintah. Bila ada maka media massa tersebut akan mendapatkan peringatan
keras dari pemerintah yang tentunya akan mengancam penerbitannya”
[2]“Pada masa orde baru pers Indonesia disebut sebagai
pers pancasila. Cirinya adalah bebas dan bertanggungjawab”. (Tebba, 2005 : 22).
Namun pada kenyataannya tidak ada kebebasan sama sekali, bahkan yang ada malah
pembredelan
Tanggal 21 Juni 1994, beberapa media massa seperti
Tempo, deTIK, dan editor dicabut surat izin penerbitannya atau dengan kata lain
dibredel setelah mereka mengeluarkan laporan investigasi tentang berbagai
masalah penyelewengan oleh pejabat-pejabat Negara”.
Berdasarkan
kejadian sosial diatas,ini menyatakan
bahwa peranan pers sebagaimana dipaparkan
oleh penulis tidaklah berjalan sebagaimana mestinya dalam membantu pembangunan
politik Negara Indonesia era Orde Baru.Dewan pers hanyalah formalitas semata Dewan
Pers bukannya melindungi sesama rekan jurnalisnya, malah menjadi anak buah dari
pemerintah Orde Baru. Hal itu terlihat jelas ketika pembredelan 1994, banyak
anggota dari dewan pers yang tidak menyetujui pembredelan. Meskipun dewan pers
menolak pembredelan, tetap saja pembredelan dilaksanakan. Menolak berarti
melawan pemerintah. Berarti benar bahwa dewan pers hanya formalitas saja.Kejadian
ini telah melanggar UUD 1945 Pasal 28 tentang kebebasan berserikat, berkumpul
dan berpendapat.Sebagai mana dipaparkan penulis dalam bukunya dimana
pembangunan politik Indonesia berlandaskan UUD 1945.
Tak
ada demokrasi tanpa kebebasan berpendapat. Kebebasan berpendapat merupakan
salah satu hak paling mendasar dalam kehidupan bernegara. Sesuai Prinsip Hukum
dan Demokrasi, bahwa perlindungan hukum dan kepastian hukum dalam menegakkan
hukum perlu ada keterbukaan dan pelibatan peran serta masyarakat. Untuk itu,
kebebasan pers, hak wartawan dalam menjalankan fungsi mencari dan menyebarkan
informasi harus dipenuhi, dihormati, dan dilindungi.Dapat disimpulkan bahwa
peranan pers untuk mendukung Pembangunan Politik sebagaimana dipaparkan penulis,tidak
berjalan semestinya,pers malah kehilangan
jati dirinya pada masa Orde Baru.